Nama : Zenisa Zeinudin Anas
NIM : A 310 080 304
Kelas : D
Dosen Pengampu : M. Fakhrur Saifudin, M. Pd.
1.
Judul
Resensi : Kecantikan
Hati Wanita Penghuni Surga
2.
Identitas
Novel
Judul : Bidadari-Bidadari Surga
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun Terbit :
Cetakan X, 2012
Kota Terbit :
Jakarta
Tebal Buku :
367 Halaman
Harga Buku : Rp.38.000,00.
3.
Pendahuluan
a.
Biografi
Pengarang
Tere Liye
adalah salah satu novelis terkenal di Indonesia. Ia lahir di Bandung pada
tanggal 21 Mei 1979. Nama asli Tere Liye ialah Darwis. Ia lahir dan besar di
pedalaman sumatera, berasal dari keluarga petani dan merupakan anak keenam dari
tujuh bersaudara. Berikut ini merupakan riwayat pendidikannya.
Sekolah Dasar ditempuh di SD Negeri 2 Kikim Timur Sumsel, kemudian melanjutkan
ke SMP Negeri 2 Kikim Timur Sumsel, kemudian ia melanjutkan ke SMU Negeri 9
Bandar Lampung. Setelah lulus SMU kemudian ia melanjutkan ke Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Saat ini
Lere Liye telah menghasilkan sekitar 16 buah novel. Karya-karyanya antara lain:
Kisah Sang Penandai; Ayahku (Bukan) Pembohong; Eliana: Serial Anak-Anak Mamak;
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin; Pukat: Serial Anak-Anak Mamak;
Burlian: Serial Anak-Anak Mamak; Hafalan Shalat Delisa; Moga Bunda Disayang
Allah; Bidadari-Bidadari Surga; Rembulan Tenggelam di Wajahmu; Senja Bersama
Rosie; Mimpi-Mimpi Si Patah Hati; Cintaku Antara Jakarta & Kualalumpur; The
Gogons Series 1; Berjuta Rasanya; serta Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Karya-karya
Tere Liye yang sudah menjadi best seller ada
tiga, seperti Novel “Hafalan Shalat Delisa”, “Moga Bunda Disayang Allah”, dan “Bidadari-Bidadari
Surga.”
Setiap
penulis pasti memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dengan
penulis lainnya. Ciri khas karya-karya yang ditulis oleh Tere Liye yaitu
mengisahkan tentang kesedihan, keharuan, bahkan hingga kematian yang dialami
oleh para tokohnya. Selain itu, Tere Liye juga sering menggunakan alur maju
mundur dalam cerita novelnya. Walaupun Tere Liye adalah seorang laki-laki,
namun ia mampu menyelami perasaan dan isi hati seorang wanita secara mendetail.
Hal ini menjelaskan bahwa Tere Liye merupakan salah satu penulis yang
profesional dan merupakan hal yang wajar jika tulisannya sering mendapat
predikat best seller.
b.
Perbandingan
Novel

Novel
“Bidadari-Bidadari Surga” karya Tere Liye ini memiliki persamaan dengan Novel “Perempuan
Berkalung Sorban” karya Abidah Al Khalieqy.
Persamaannya yaitu kedua novel tersebut tokoh utamanya adalah seorang wanita
muslimah yang memiliki sifat baik hati, pekerja keras, disiplin, pantang
menyerah, ikhlas, dan rela berkorban demi keluarga. Selain itu, novel-novel
tersebut juga sama-sama membicarakan mengenai masalah keagamaan. Namun, kedua
novel ini juga memiliki perbedaan di tokoh utamanya, yaitu pada Novel “Bidadari-Bidadari
Surga” ini tokoh utamanya digambarkan sebagai sosok yang buruk rupa dan berasal
dari keluarga yang miskin, sedangkan pada Novel “Perempuan Berkalung Sorban” ini tokoh utamanya digambarkan sebagai sosok yang
cantik dan bersal dari keluarga yang berkecukupan. Selain itu, pada Novel “Bidadari-Bidadari Surga” tokoh
utamanya diceritakan tidak mendapatkan jodoh sampai ajal menjemputnya,
sedangkan pada Novel “Perempuan Berkalung Sorban” tokoh utamanya bisa menikah
dengan lelaki yang dicintainya, meskipun di akhir cerita suaminya meninggal
dunia.
Novel
“Ayahku (Bukan) Pembohong” merupakan salah satu novel karya Tere Liye. Novel
ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan Novel “Bidadari-Bidadari Surga.” Persamaannya yaitu kedua novel tersebut mengandung pesan
bagi para pembaca tentang cara mendidik anak yang benar, cerdas, berkarakter
kuat, dan berakhlaq mulia yaitu dengan menceritakan kisah-kisah hebat agar anak
bisa meniru teladan yang benar. Perbedaan kedua novel tersebut adalah pada Novel
“Bidadari-Bidadari Surga” bernuansa islami, sedangkan Novel “Ayahku (Bukan)
Pembohong” tidak bernuansa islami.
4.
Isi
Resensi
a.
Sinopsis
Novel “Bidadari-Bidadari
Surga” karya Tere-Liye ini menceritakan tentang sebuah keluarga miskin di
Lembah Lahambay. Keluarga ini terdiri dari Mamak Lainuri, Laisa, Dalimunte,
Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Laisa adalah anak perempuan tertua Mamak
Lainuri. Secara fisik ia tidak begitu cantik, badannya pendek, gemuk, rambutnya
gimbal, hidungnya pesek, kulitnya hitam, dan hal itu berkebalikan dengan
adik-adiknya yang berkulit putih dan berpawakan tinggi.
Kak Laisa sebenarnya
tidak memiliki hubungan darah dengan Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan
Yashinta,
bahkan dengan Mamak Lainuri sendiri. Mamak Lainuri dulu menikah dua kali.
Pernikahan pertamanya dengan seorang duda yang mempunyai bayi enam bulan yang
merupakan Laisa. Ayah Laisa memiliki sifat yang buruk, suka minum-minuman keras
dan sering berbuat kasar pada Mamak. Ketika berumur sembilan bulan Laisa pernah
tercebur ke dalam baskom yang berisi air panas. Ayahnya yang pada waktu itu
bertugas menjaganya malah tertidur pulas setelah puas minum-minuman keras.
Akhirnya nyawa Laisa tertolong sewaktu Mamak Lanuri pulang dari ladang.
Walaupun Laisa selamat, namun ia tumbuh tidak normal akibat kejadian itu.
Sewaktu Laisa berumur dua tahun, ayahnya justru meninggalkan Laisa dan Mamak
Lainuri tanpa kabar apa pun. Setelah itu Mamak menikah lagi dan dari pernikahan
kedua ini kemudian lahirlah Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta.
Namun, akhirnya bapak meninggal diterkam harimau Gunung Kendeng ketika sedang
mencari kumbang di hutan.
Sebelum
meninggal, bapak memberi wasiat pada Kak Laisa untuk menjaga adik-adiknya
sampai ia pulang mencari kumbang. Namun, takdir berkata lain karena bapaknya telah
tewas diterkam
harimau. Sejak saat itu, Kak Laisa bertekad untuk melindungi adik-adiknya dan
menjaga ibunya yang sudah tua. Kak
Laisa rela berkorban membuang impian untuk melanjutkan sekolah di saat usianya
masih terbilang sangat muda. Ia selalu bersikap tegas dan
disiplin dalam mendidik adik-adiknya, namun sebenarnya Kak Laisa sangat menyayangi
mereka. Hal ini ia lakukan agar adik-adiknya bisa sukses dan meraih cita-cita
mereka di masa depan. Setiap hari Kak Laisa bekerja keras demi menghidupi
keluarga dan agar adik-adiknya bisa tetap melanjutkan sekolah.
Dalimunte
merupakan satu-satunya adik yang mengetahui bahwa Kak Laisa bukanlah kakak
kandungnya, tetapi ia sangat menyayanginya. Dalimunte termasuk anak yang sangat
rajin karena sering membantu Mamak Lainuri dan Kak Laisa di ladang. Ia juga mempunyai
sifat yang bertanggung jawab, cerdas, dan kreatif. Pada suatu hari ia berpikir untuk
membuat kincir air untuk membuat irigasi ke setiap ladang milik warga. Pada
awalnya warga tidak percaya, namun Kak Laisa berusaha meyakinkan mereka untuk
mencobanya terlebih dahulu. Akhirnya warga pun setuju dan berniat membuatnya
secara bergotong royong dan setelah dicoba ternyata kincir air itu berhasil
sehingga bisa mengaliri ladang warga. Dalimunte
telah berhasil membuat sawah kampung mereka tidak lagi tergantung oleh hujan.
Berbeda dengan Dalimunte,
Ikanuri dan Wibisana tergolong sangat nakal. Walaupun berbeda sebelas bulan,
namun mereka memiliki wajah dan watak yang hampir sama, yaitu nakal, pintar
mencari alasan, dan larinya gesit ketika dikejar Kak Laisa. Mereka lebih senang
bermain daripada belajar, sehingga sering membolos ketika sekolah. Kak Laisa
bahkan pernah mengejar-ngejar mereka dengan rotan dan ranting kayu ketika
mengetahui adiknya bolos sekolah. Tidak hanya itu kenakalannya, ketika penduduk kampung sedang bergotong royong
membangun kincir air mereka berdua malah asyik mencuri mangga di kebun Pak
Burhan. Melihat hal itu, Kak Laisa pun kemudian marah dan memukul tangan adik-adiknya
tersebut.
Ikanuri dan
Wibisana pun kemudian melawan Kak Laisa dan secara terang-terangan
mengungkapkan bahwa ia bukan kakaknya, karena memang secara fisik berbeda
dengan adik-adiknya. Mendengar hal itu, Kak Laisa pun tertunduk malu sambil
menahan tangis. Setelah Ikanuri dan Wibisana menghina
kakaknya, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Ikanuri dan Wibisana berlari memasuki
hutan Gunung Kendeng karena mereka pikir itu jalan pintas menuju ke kecamatan,
padahal di hutan itu terdapat harimau-harimau buas. Kentongan kampung pun dibunyikan
sehingga seluruh warga berhamburan keluar rumah. Para pemuda membawa tombak, golok,
dan obor mencari Ikanuri dan Wibisana ke hutan, sedangkan para wanita berkumpul
menenangkan Mamak di balai kampung. Karena rasa cinta dan takut kehilangan adik-adiknya,
Kak Laisa dengan ditemani Dalimunte nekat menerobos hutan Gunung Kendeng tanpa
memedulikan keselamatannya sendiri.
Pada tengah perjalanan benar saja Ikanuri dan
Wibisana dihadang oleh harimau-harimau buas. Mereka pun ketakutan sampai hampir
pingsan, namun akhirnya Kak Laisa datang menyelamatkannya dengan mengacung-acungkan
obor untuk menghalau tiga harimau yang siap menerkam adik-adiknya itu. Kemudian
Kak Laisa meminta Dalimente membawa kedua adiknya itu pulang. Kak Laisa sebenarnya
sudah memasrahkan dirinya untuk diterkam harimau-harimau itu, namun ajaibnya
harimau yang paling besar itu malah pergi meninggalkan mangsa yang sudah di
depan matanya. Setelah kejadian itu, Ikanuri dan
Wibisana pun menjadi sadar dan akhirnya meminta maaf pada Kak Laisa. Kak Laisa
kemudian menasehati adik-adiknya bahwa hidup ini harus diisi dengan Kerja
Keras, Kerja Keras, dan Kerja Keras. Seseorang harus berusaha sendiri untuk
bisa mengubah takdirnya. Dengan kerja keras, dengan sekolah, dan dengan belajar
sungguh-sungguh maka akan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Yashinta adalah adik yang terkecil di
keluarga itu. Ia termasuk anak yang penurut dan wajahnya pun juga cantik. Pada
suatu ketika Yashinta menderita demam yang sangat tinggi disertai dengan kejang.
Kak Laisa yang tidak tega melihat adiknya kesakitan kemudian rela berlari
menerjang hujan badai untuk menjemput mahasiswa kedokteran yang sedang KKN di
desanya. Akhirnya Yashinta pun sembuh dari sakitnya. Suatu hari,
Kak Laisa menceritakan berang-berang kepada Yashinta dan karena penasaran
kemudian Yashinta pun langsung memohon-mohon pada kakaknya agar mengajaknya
melihat anak berang-berang di
sungai. Demi membuat hati adiknya senang, Kak Laisa akhirnya mengajak Yashinta
ke sungai untuk melihat berang-berang. Yashinta pun senang sekali bisa
melihatnya secara langsung.
Yashinta termasuk anak yang cerdas
seperti Dalimente dan ia ingin agar bisa sekolah seperti kakak-kakaknya. Namun,
pada waktu itu keuangan keluarga mereka sedang krisis akibat gagal panennya ladang
stroberi Kak Laisa. Akhirnya Dalimente rela untuk tidak melanjutkan sekolah
agar adik-adiknya bisa tetap sekolah. Dalimente kemudian membantu Mamak Lainuri
dan Kak Laisa bekerja di ladang stroberi. Berkat usaha, kerja keras, dan dengan
disertai doa akhirnya ladang stroberi mereka tumbuh subur. Setelah itu, ekonomi
keluarganya meningkat dengan pesat dan Kak Laisa berniat untuk melanjutkan lagi
sekolah Dalimente. Pada awalnya Dalimente menolak, namun Kak Laisa tetap
membujukknya sehingga akhirnya ia mau sekolah lagi.
Beberapa tahun kemudian Lembah Lahambay
sudah dipenuhi perkebunan stroberi. Para warga mengikuti jejak Kak Laisa untuk menanam
stroberi daripada padi dan jagung karena untungnya hanya sedikit. Kak Laisa
sekarang sudah berumur 35 tahun dan memiliki ribuan hektar ladang stroberi. Walaupun begitu, Dalimunte, Ikanuri,
Wibisana, dan Yashinta masih merasa risau dengan jodoh yang tak kunjung datang
untuk kakak tercintanya. Kekurangan fisik Kak Laisa telah membuat laki-laki tak
berminat untuk datang melamarnya, bahkan ketika melihatnya pun langsung pada
menghindar. Mereka sebenarnya tidak mau mendahului Kak Laisa untuk menikah
karena pasti akan menyakiti hatinya. Namun, Kak Laisa sudah merasa ikhlas kalau
didahului oleh adik-adiknya karena ia menganggap bahwa jodoh bisa datang kapan
dan di mana saja. Ia tidak ingin menjadi penghalang pernikahan adik-adiknya.
Kak Laisa kemudian meyakinkan
adik-adiknya untuk menikah lebih dulu. Walaupun Kak Laisa tidak memiliki
suami dan anak, namun ia sudah sangat bahagia memiliki adik-adik yang sayang
kepadanya. Akhirnya Dalimente menikah
dengan Cie Hui di ladang stroberi dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama
Intan. Sekarang Dalimente sudah menjadi Profesor Fisika terkenal dan juga
mendapat beasiswa ke luar negeri. Ikanuri dan Wibisana
pun juga melangkahi Kak Laisa untuk menikah. Ikanuri menikahi Wulan dan
Wibisana menikahi Jasmine di hari yang sama. Namun, sehari sebelum pernikahan mereka,
Kak Laisa batuk darah di kamar mandi. Mamak Lainuri yang melihat kejadian itu
lantas kaget. Setelah diperiksakan ke rumah sakit, Kak Laisa ternyata mengidap
kanker paru-paru stadium IV. Kak Laisa kemudian meminta Mamak untuk tidak
menceritakan penyakitnya pada siapa pun apalagi pada adik-adiknya.
Ikanuri dan
Wibisana juga sekarang sudah menjadi orang yang sukses. Mereka sudah memiliki
bengkel sparepart hingga bisa menjual
barang-barangnya ke Eropa. Ikanuri dan Wibisana juga memiliki istri yang cantik
dan baik hati. Namun berbeda dengan kakak-kakaknya, Yashinta masih tetap pada
pendiriannya untuk tidak melangkahi Kak Laisa menikah. Sebenarnya ia sudah
jatuh cinta pada teman sepenelitiannya yang bernama Goughsky. Pada suatu hari
Goughsky datang ke rumah untuk melamarnya, tetapi Yashinta menolak pinangannya.
Ia lebih baik menjauhi Goughsky daripada harus melangkahi kakaknya yang sudah
sangat berjasa dalam kehidupannya. Sekarang Yashinta sudah menjadi peneliti di
lembaga konservasi alam di Bogor. Selain itu, ia menjadi koresponden foto National Geographic dan juga bisa kuliah
S2 di Belanda.
Berkebalikan
dengan kesuksesan adik-adiknya, setiap hari Kak Laisa terus berjuang melawan
kanker yang dideritanya sendirian. Ia terus berobat ke rumah sakit memeriksakan
keadaannya tanpa sepengetahuan adik-adiknya. Namun, penyakit kankernya sudah semakin
bertambah parah sehingga Kak Laisa sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.
Melihat itu, Mamak Lainuri kemudian mengirim pesan singkat kepada anak-anaknya
agar secepatnya pulang karena keadaan kakaknya sudah bertambah parah dan
kemungkinan hidupnya tinggal menunggu hitungan hari saja.
Ketika
melihat pesan dari Mamak Lainuri, mereka sangat kaget karena sepengetahuan
mereka Kak Laisa masih sehat seperti biasanya. Pada waktu itu Dalimunte sedang
mengisi Simposium Fisika Internasional, namun ketika melihat pesan itu ia
terpaksa menutup acaranya dan langsung bergegas pulang ke Indonesia tanpa
memedulikan perasaan para pesertanya. Tidak berbeda dengan Dalimunte, Ikanuri
dan Wibisana pun juga kaget ketika melihat pesan singkat dari Mamaknya. Pada
waktu itu, mereka baru saja tiba di bandara Roma, Italia untuk bisnis otomotif.
Ketika melihat pesan itu, mereka langsung membatalkan bisnis dan bergegas
pulang ke Indonesia. Begitu pula dengan Yashinta yang pada waktu itu sedang meneliti
sekelompok burung di Gunung Semeru. Ketika melihat pesan dari Mamaknya, ia ingin
segera bertemu dengan kakaknya. Karena terburu-buru turun gunung, ia mengalami
patah tulang dan memar di tubuhnya. Akhirnya ia ditemani Goughsky pulang ke
rumah dengan menggunakan pesawat milik pemegang saham penelitiannya.
Pada tengah perjalanan,
mereka teringat bagaimana pengorbanan dan kerja keras Kak Laisa dulu dalam membanting
tulang untuk menghidupi keluarga. Segala tangis dan penyesalan menjadi satu di
hati mereka. Setibanya Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana di rumah, mereka kaget
karena rumah mereka sudah dipenuhi oleh warga yang sedang membaca surat Yassin.
Mereka langsung menangis melihat Kak Laisa sudah terbaring lemah di ranjang
dengan infus melekat di tangannya. Mereka tak menyangka, orang yang sedang
terbaring lemah di ranjang itu adalah kakak mereka yang dulu dikenalnya sangat
kuat, tegas, disiplin, dan rela berkorban demi adik-adiknya tanpa memedulikan
dirinya sendiri.
Mereka pun
meminta maaf pada Kak Laisa, apalagi Ikanuri dan Wibisana yang sejak kecil
selalu nakal, tidak mau menuruti perintah kakaknya, bahkan pernah menghinanya
dengan tidak mengakui kakaknya sehingga sampai membuatnya sakit hati. Akhirnya
Yashinta sampai di rumah dan langsung memeluk Kak Laisa sambil menangis. Kak
Laisa kemudian mempunyai permintaan terakhir pada Yashinta yaitu ingin
melihatnya menikah. Mendengar hal itu, Yashinta kemudian menolaknya secara
tegas karena ia tidak mungkin menikah pada saat kondisi kakaknya yang masih
kritis. Namun, setelah dibujuk dan ditambah lagi tidak ingin melihat kakaknya
sedih akhirnya Yashinta pun menyetujui menikah dengan Goughsky di depan Kak
Laisa. Setelah ijab kabul berlangsung, Kak Laisa menghembuskan nafas terakhir
dengan senyuman di bibirnya karena ia sudah melihat adik-adiknya bahagia dan
meraih cita-cita mereka. Seluruh keluarga dan masyarakat Lembah
Lahambay merasa kehilangan atas kepergian sosok teladan di desa tersebut.
b. Kelebihan dan Kekurangan
1)
Kelebihan
a)
Melalui kata-kata yang sederhana, namun Tere Liye
mampu menggugah emosi para pembaca sehingga seperti bisa merasakannya secara
langsung.
b)
Alur cerita novel .ini disusun dengan sangat rapi.
Walaupun alurnya maju mundur, tetapi Tere Liye bisa mengemasnya dengan sangat baik
sehingga pembaca tidak merasa terganggu ketika cerita flaskback ke masa kecil tokoh-tokohnya.
c)
Mengajarkan pada para pembaca bahwa segala sesuatu
harus dilakukan dengan kerja keras, tidak pernah menyerah dalam keadaan apa
pun, dan perlu disertai dengan doa.
d)
Novel ini memiliki pesan bagi para wanita kalau
kecantikan hakiki tidak hanya dilihat dari segi fisiknya saja, tetapi juga dari
kecantikan hati.
e)
Novel ini juga mengandung pesan bagi kaum hawa yang
sampai usia 30-40 tahun belum mendapat jodoh, karena keterbatasan fisik atau
apa pun agar tidak berkecil hati dan harus yakin jika hidup selalu diniati
dengan beribadah maka di surga nanti akan menjadi bidadari-bidadari yang sangat
cantik.
f)
Keterbatasan biaya bukanlah alasan untuk tidak
sekolah. Pendidikan itu sangatlah penting agar dapat meraih impian yang
diinginkan dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik nantinya.
g)
Novel ini juga mengajarkan cara mendidik anak yang
benar melalui sosok Mamak Lainuri. Mamak mengajari anaknya sejak kecil dengan
beribadah, mengaji, dan setelah sholat shubuh mendongengi anak-anaknya dengan
kisah para Nabi sehingga mereka secara langsung akan meniru keteladanannya.
h)
Novel Tere Liye ini juga diselipkan potongan ayat-ayat
suci Al-Qur’an untuk menambah kekonkritan tulisannya dan sekaligus menambah
kekhasan sosok penulis.
2) Kekurangan
a) Masing-masing
tokoh dalam novel ini kurang dideskripsikan secara mendetail oleh penulisnya.
b) Pada
novel itu panggilan Laisa ada dua, yaitu Kak Laisa dan Wak Laisa. Mungkin itu
sebenarnya wajar-wajar saja, namun bagi pembaca sepertinya tidak konsisten.
c) Pada
cerita tersebut, Tere Liye sering menambahkan pendapatnya sendiri mengenai apa
yang sedang terjadi di alur ceritanya. Namun, itu mungkin ciri khas dari
penulis dengan menyertakan pendapatnya di tengah-tengah cerita.
c.
Bahasa
Bahasa
yang digunakan oleh penulis dalam Novel “Bidadari-Bidadari Surga” tidak
berbelit-belit. Bahasanya juga tidak banyak menggunakan bahasa-bahasa daerah
sehingga pembaca secara umum bisa memahami ceritanya dengan mudah tanpa adanya
gangguan. Melalui bahasanya, Tere Liye mampu mengaduk-aduk emosi para
pembacanya sehingga tidak jarang membuat mereka menangis setelah membaca
ceritanya.
5.
Penutup
Resensi
Secara keseluruhan, Novel “Bidadari-Bidadari
Surga” karya Tere Liye ini bisa dinikmati oleh siapa saja, baik anak-anak
maupun orang dewasa. Novel ini memiliki pesan yang penting dan bermanfaat bagi
para pembacanya. Bagi anak-anak, novel ini mengajarkan pentingnya mengenyam
pendidikan. Selain itu, mengajari anak untuk tidak nakal, tidak menghina orang
yang lebih tua, dan harus menurut apa yang dikatakan oleh orang tua. Bagi orang
dewasa, novel ini mengajarkan cara mendidik anak yang tepat dengan cara
menceritakan kisah-kisah yang bisa dijadikan teladan oleh anak-anaknya. Selain
itu, melalui sosok Laisa novel ini mengajarkan bagaimana rasa kasih sayang,
keikhlasan, dan rela berkorban baik jiwa maupun raga meskipun itu semua
dilakukan untuk orang yang bukan sedarahnya. Bagi para kaum hawa khususnya,
kecantikan fisik itu tidaklah abadi dan semua itu akan termakan habis oleh
waktu, namun kecantikan hati tidak akan lenyap sampai kapan pun juga hingga
ajal menjemput.