Jumat, 29 Juni 2012

Skripsi Zen


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tindak tutur merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan, dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus, misalnya, permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan. Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala individual, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam peristiwa tutur banyak dilihat pada tujuan peristiwanya dan pada tindak tutur dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi (Chaer, 2010: 27).
Tindak tutur sebagai wujud peristiwa komunikasi bukanlah peristiwa yang terjadi dengan sendirinya, melainkan mempunyai fungsi, mengandung maksud, dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan mengucapkan sesuatu (Nadar, 2009: 7). Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan.
Searle (dalam Wijana, 1996: 17-20) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak ilokusi adalah sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya.
Tindak tutur ilokusi dalam komunikasi pada suatu penelitian penting untuk diperhatikan. Wijana (1996: 19) menyatakan bahwa tindak ilokusi memberikan tantangan dalam penelitian kebahasaan, sebab tindak ilokusi sulit diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian, tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
Sehubungan dengan hal itu, Yule (2006: 92) membagi tindak tutur ilokusi menjadi lima kategori.
1.      Deklaratif yaitu jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.
2.      Representatif yaitu jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan.
3.      Ekspresif yaitu jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur jenis ini mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan.
4.      Direktif yaitu jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi, perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran.
5.      Komisif yaitu jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
Tindak ilokusi ekspresif merupakan fokus yang dipilih pada penelitian ini. Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kalangan masyarakat Jawa di Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar terdapat banyak tuturan yang berupa ungkapan perasaan para penutur yang terdapat di dalamnya. Searle (dalam Leech, 1993: 164) menyatakan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.
Tindak tutur ekspresif berisi ungkapan perasaan atau sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami mitra tutur. Hal ini dapat digambarkan pada contoh data (1) berikut ini.
Andriyas  : Eh, Mas... Mas.
                  (Eh, Mas... Mas.)
Yoga        : Emm... Pripun, Pak?
                 (Emm... Bagaimana, Pak?)
Andriyas  : Niki dibeta mawon tasih kathah kok.
                  (Ini dibawa saja masih banyak kok.)
Yoga        : Oh, matur nuwun nggih.
                  (Oh, terima kasih ya.)
(Data 1/ 13 November 2011)
Konteks Tuturan:
Percakapan ini terjadi  di acara hajatan pernikahan. Setelah merasa cukup lama menghadiri acara tersebut, Yoga hendak pulang bersama teman-temannya. Sebelum pulang, ia dipanggil oleh Pak Andriyas karena akan diberi beberapa tambahan makanan lagi.
Percakapan pada contoh data (1) di atas, Yoga menuturkan tindak tutur ekspresif “berterima kasih”. Tindak tutur ekspresif “berterima kasih” terdapat pada tuturan Yoga yang mengatakan “oh, matur nuwun nggih”. Melalui tuturan tersebut, Yoga bermaksud ingin membalas kebaikan hati dari Pak Andriyas karena sudah memberi makanan lagi untuknya. Wajah Yoga pun spontan terlihat sangat senang ketika diberi makanan lagi karena ia masih belum merasa kenyang sewaktu makan di acara tersebut.
Merujuk pada contoh tuturan data (1) di atas dapat dinyatakan bahwa suatu tuturan dapat berisi ungkapan perasaan para penuturnya. Tuturan-tuturan yang mengandung ungkapan perasaan penuturnya banyak ditemukan di Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Fenomena kebahasaan inilah yang mendorong peneliti untuk menjadikan Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar sebagai objek penelitian ilmu pragmatik, khususnya tentang tindak tutur ekspresif.
Dalam berkomunikasi, penutur harus memperhatikan norma-norma sosial budaya dari bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, seperti cara berbicara, jarak penutur dan lawan tutur, jenis kalimat atau ekspresi yang digunakan, kepada siapa, kekuatan suara, dan sebagainya. Jika hal ini tidak diperhatikan maka tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Masyarakat Jawa misalnya, berbicara dengan suara yang lembut merupakan keharusan dan jika berbicara dilakukan dengan suara keras, maka penutur dapat dikategorikan kurang atau tidak sopan.
Strategi yang digunakan oleh penutur dalam berkomunikasi agar bisa berjalan dengan baik biasanya mempertimbangkan segi sopan santun berbahasa. Hal ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang mesra dan demi keselamatan berkomunikasi. Kesopanan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang lain itu tampak jauh secara sosial sering dideskripsikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau kesetiakawanan (Yule, 2006: 104-105).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil judul penelitian “Strategi Bertindak Tutur Ekspresif di Kalangan Masyarakat Jawa dalam Wacana Hajatan”.
B.     Pembatasan Masalah
            Pembatasan masalah digunakan untuk mencegah adanya kekaburan masalah dan mengarahkan penelitian ini agar lebih intensif dan efisien dengan tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan latar belakang tersebut,  penelitian ini dibatasi pada masalah “Strategi Bertindak Tutur Ekspresif di Kalangan Masyarakat Jawa dalam Wacana Hajatan”.
C.    Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut, ada dua masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
1.      Bagaimanakah bentuk-bentuk tindak tutur ekspresif di kalangan masyarakat Jawa dalam wacana hajatan?
2.      Strategi apa yang digunakan oleh kalangan masyarakat Jawa dalam wacana hajatan?
D.    Tujuan Penelitian
            Berdasarkan masalah tersebut, ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
1.      Menemukan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak tutur ekspresif di kalangan masyarakat Jawa dalam wacana hajatan.
2.      Menemukan dan mendeskripsikan strategi yang digunakan oleh kalangan masyarakat Jawa dalam wacana hajatan.
E.     Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu bahasa dalam bidang pragmatik pada umumnya dan khususnya tentang kajian tindak tutur.
2.      Manfaat Teoretis
a.       Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan acuan yang sangat bermanfaat untuk berbagai kepentingan khususnya di bidang pragmatik. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah dan memperluas pengetahuan tentang pragmatik terutama kajian tindak tutur.
b.      Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan bagi pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan masalah yang sedang dikaji dan menumbuhkan sikap kritis bagi penulis, dan siapa saja yang tertarik pada kajian serupa pada umumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar