A.
Periodisasi
Sejarah Sastra Indonesia
Masalah periodisasi sejarah sastra
Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia
(1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan
Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya (1995).
1.
Ajip
Rosidi
Secara
garis besar Ajip Rosidi (1969:13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai
berikut.
I. Masa
Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat
dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1) Periode
awal hingga 1933
Menurut
Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat
yang sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi
kelangsungan eksistensi masing-masing. Pada tahun 1848 pemerintah Belanda
mendirikan sekolah-sekolah untuk orang-orang bumiputera terutama para priyayi.
Dengan didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatlah pendidikan dan akhirnya
bangsa Indonesia pun mulai mengerti kedudukannya sebagai bangsa yang dijajah.
Sesudah tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan-karangan yang bersifat
sastra atau dapat digolongkan sebagai karya sastra. Pada awal abad ke-20 di
Bandung ada surat kabar Medan Prijaji
yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman. Misalnya, roman berjudul Hikayat Siti Mariah karya H. Moekti.
Pengarang lain yang pada masa itu terbilang produktif adalah Mas Marco
Martodikromo. Karyanya antara lain: Mata
Gelap (1914), Student Hidjo
(1919), Syair Rempah-rempah (1919),
dan Rasa Merdeka (1924). Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
merupakan kritik langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk kuno yang
tidak lagi sesuai dengan zaman modern. Roman terpenting yang diterbitkan Balai
Pustaka pada tahun 20-an adalah Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Dalam
roman itu pengarangnya lebih realistis yang menjadi perhatian bukan lagi kawin
paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal
pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih.
2) Periode
1933-1942
Periode
ini diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat
dengan pandangan romantis-ideal. Pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan
Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia,
majalah Poedjangga Baroe ini dilarang
terbit karena dianggap “kebarat-baratan”, tetapi setelah Indonesia merdeka
majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dkk.
Kelahiran majalah Poedjangga Baroe yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam
bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandaskan
bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi. Polemik
golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja,
tetapi juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan,
pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemik yang seru.
Motor
dan pejuang Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana. Karyanya antara lain:
Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), dan Layar Terkembang (1936). Layar Terkembang merupakan romannya yang
terpenting. Melalui roman itu, ia ingin menyampaikan pendapat-pendapat dan
pandangan-pandangannya tentang peranan wanita dan kaum muda dalam pembangunan
bangsa.
3) Periode
1942-1945
Perubahan
terjadi pada periode ini atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna
pelarian, kegelisahan, dan peralihan. Situasi perang dan penderitaan ketika
dijajah Jepang telah mematangkan jiwa bangsa kita. Bahasa Indonesia juga
mengalami pematangan, seperti pada sajak-sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus.
Bahasa sajak Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi
bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan. Kata-kata
dipilihnya dengan cermat dan teliti karena kata tersebut bukan hanya memberikan
gambaran atau tanggapan tentang hidup, tetapi dapat menjelmakan hidup itu
sendiri.
Pada periode ini beberapa penyair
muncul, seperti Usmar Ismail, Amal Hamzah, dan Rosihan Anwar. Pada zaman Jepang
ini cerpen tumbuh subur, misalnya cerpen berjudul Anak Laut karya H.B. Jassin, Di
Tepi Kawah karya Bakri Siregar. Selain itu, penulisan drama di zaman ini
juga tumbuh subur. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan Perserikatan Oesaha
Sandiwara Jawa yang dipimpin oleh Armijn Pane. Beberapa pengarang yang banyak
membuat sandiwara antara lain: Armijn Pane, Usmar Ismail, Abu Hanifah, Idrus,
Inu Kertapati, Kotot Sukardi, dan lain-lain.
Sandiwara
yang ditulis oleh Armijn Pane antara lain: Jinak-jinak
Merpati (1953), Antara Bumi dan
Langit yang mempermasalahkan kedudukan kaum Indo di alam Indonesia merdeka.
Selain itu, Usmar juga menulis sandiwara yang berjudul Api, Liburan Seniman, dan
Citra yang kemudian diterbitkan dalam
satu buku berjudul Sedih dan Gembira
(1949). Idrus menulis Dari Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma (1948), Kotot Sukardi menulis Bende Mataram (1945), dan lain-lain.
II. Masa
Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa periode,
yaitu:
1) Periode
1945-1953
Periode
ini diwarnai perjuangan dan pernyataan
diri di tengah kebudayaan dunia. Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah
sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Tidak dapat dibantah pula bahwa
sajak-sajak Anwar bernilai tinggi. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa
Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa
percakapan sehari-hari yang dibuatnya benilai sastra. Dengan munculnya kenyataan
itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusastraan
baru telah lahir. Pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan
nama Angkatan 45.
Armijn
Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa Angkatan 45 ini hanyalah
lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu
Angkatan Pujangga Baru. Pada tahun 1952 H.B. Jassin mengumumkan esai berjudul
Angkatan 45 yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan
45. Jassin mengatakan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara
Angkatan 45 dengan Pujangga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan).
Tokoh
utama dalam Angkatan 45 ini adalah Chairil Anwar. Ia mulai muncul di dunia
kesenian pada zaman Jepang. Sajaknya yang termashur dan merupakan gambaran
semangat hidupnya yang membersit-bersit dan individualistis ialah yang berjudul
Aku. Dalam sajak itu ia menyebut
dirinya sebagai “binatang jalang”, sebutan mana segera menjadi terkenal.
Karyanya yang lain antara lain: Deru Campur
Debu (kumpulan puisi, 1949), Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Luput (kumpulan
puisi, 1949), dan Tiga Menguak Takdir
(kumpulan puisi, 1950).
2) Periode
1953-1961
Periode
ini diwarnai pencarian identitas diri
dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur. Setelah Chairil Anwar
tiada, lingkungan kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seakan-akan
kehilangan vitalitas. Pada tahun 1953 Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana,
Prof. Dr. Wertheim, dkk. mengadakan simposium. Mereka membicarakan tentang impase (kemacetan) dan krisis sastra
Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia. Hal ini ditulis oleh
Soedjatmoko pada essainya dalam sebuah majalah Konfrontasi karena ia melihat adanya krisis sastra sebagai akibat
dari krisis kepemimpinan politik.
Sitor Situmorang dalam karyanya yang
berjudul Krisis H.B. Jassin dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) mengemukakan
bahwa yang ada bukanlah krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai sastra.
Salah satu alasan utama mereka yang menuduh ada krisis sastra Indonesia ialah
karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Lahirnya sastra majalah disebabkan
pada waktu itu majalah sedang mendapat tempat, sehingga para pengarang pun
lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan-karangan lain yang
pendek-pendek.
Para pengarang periode 50 ini lebih
menitikberatkan pada penciptaan. Hal ini tentu berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan mereka pada saat itu. Baru setelah berkesempatan menambah
pengetahuannya, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya. Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang
cerpen. Karyanya antara lain: Hujan Kepagian (1958), Rasa Sajangé (1961), dan Tiga Kota (1959).
3) Periode
1961-1968
Periode ini tampak menonjol warna
perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak
warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Sejak
tahun 1966, terbit majalah horison yang dipimpin oleh Muchtar Lubis, H.B.
Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.
Beberapa penyair pada periode ini,
seperti Taufiq Ismail dengan karyanya antara lain: Tirani, Benteng, Sebuah Jaket Berlumur Darah, dan Jalan
Segara. Selain itu, ada Goenawan Mohamad dengan karyanya berjudul Senja Pun
Jadi Kecil, Kota Pun Jadi Putih dan Siapakah Laki-Laki Yang Rebah Di Taman Ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar