Jumat, 29 Juni 2012

Sejarah Sastra Indonesia


A.    Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia
Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (1995).
1.      Ajip Rosidi
Secara garis besar Ajip Rosidi (1969:13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut.
I.       Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1)      Periode awal hingga 1933
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing. Pada tahun 1848 pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk orang-orang bumiputera terutama para priyayi. Dengan didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatlah pendidikan dan akhirnya bangsa Indonesia pun mulai mengerti kedudukannya sebagai bangsa yang dijajah. Sesudah tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan-karangan yang bersifat sastra atau dapat digolongkan sebagai karya sastra. Pada awal abad ke-20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman. Misalnya, roman berjudul Hikayat Siti Mariah karya H. Moekti.
Pengarang lain yang pada masa itu terbilang produktif adalah Mas Marco Martodikromo. Karyanya antara lain: Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar merupakan kritik langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk kuno yang tidak lagi sesuai dengan zaman modern. Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20-an adalah Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Dalam roman itu pengarangnya lebih realistis yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih.
2)      Periode 1933-1942
Periode ini diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-ideal. Pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poedjangga Baroe ini dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan”, tetapi setelah Indonesia merdeka majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dkk.
Kelahiran majalah Poedjangga Baroe yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandaskan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi. Polemik golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja, tetapi juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemik yang seru.
Motor dan pejuang Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana. Karyanya antara lain: Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), dan Layar Terkembang (1936). Layar Terkembang merupakan romannya yang terpenting. Melalui roman itu, ia ingin menyampaikan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya tentang peranan wanita dan kaum muda dalam pembangunan bangsa.
3)      Periode 1942-1945
Perubahan terjadi pada periode ini atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan. Situasi perang dan penderitaan ketika dijajah Jepang telah mematangkan jiwa bangsa kita. Bahasa Indonesia juga mengalami pematangan, seperti pada sajak-sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus. Bahasa sajak Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan. Kata-kata dipilihnya dengan cermat dan teliti karena kata tersebut bukan hanya memberikan gambaran atau tanggapan tentang hidup, tetapi dapat menjelmakan hidup itu sendiri.
Pada periode ini beberapa penyair muncul, seperti Usmar Ismail, Amal Hamzah, dan Rosihan Anwar. Pada zaman Jepang ini cerpen tumbuh subur, misalnya cerpen berjudul Anak Laut karya H.B. Jassin, Di Tepi Kawah karya Bakri Siregar. Selain itu, penulisan drama di zaman ini juga tumbuh subur. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan Perserikatan Oesaha Sandiwara Jawa yang dipimpin oleh Armijn Pane. Beberapa pengarang yang banyak membuat sandiwara antara lain: Armijn Pane, Usmar Ismail, Abu Hanifah, Idrus, Inu Kertapati, Kotot Sukardi, dan lain-lain.
Sandiwara yang ditulis oleh Armijn Pane antara lain: Jinak-jinak Merpati (1953), Antara Bumi dan Langit yang mempermasalahkan kedudukan kaum Indo di alam Indonesia merdeka. Selain itu, Usmar juga menulis sandiwara yang berjudul Api, Liburan Seniman, dan Citra yang kemudian diterbitkan dalam satu buku berjudul Sedih dan Gembira (1949). Idrus menulis Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Kotot Sukardi menulis Bende Mataram (1945), dan lain-lain.
II.    Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1)      Periode 1945-1953
Periode ini diwarnai  perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia. Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Tidak dapat dibantah pula bahwa sajak-sajak Anwar bernilai tinggi. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya benilai sastra. Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusastraan baru telah lahir. Pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45.
Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa Angkatan 45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. Pada tahun 1952 H.B. Jassin mengumumkan esai berjudul Angkatan 45 yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan 45. Jassin mengatakan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan 45 dengan Pujangga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan).
Tokoh utama dalam Angkatan 45 ini adalah Chairil Anwar. Ia mulai muncul di dunia kesenian pada zaman Jepang. Sajaknya yang termashur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang membersit-bersit dan individualistis ialah yang berjudul Aku. Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai “binatang jalang”, sebutan mana segera menjadi terkenal. Karyanya yang lain antara lain: Deru Campur Debu (kumpulan puisi, 1949), Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Luput (kumpulan puisi, 1949), dan Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi, 1950).
2)      Periode 1953-1961
Periode ini diwarnai  pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur. Setelah Chairil Anwar tiada, lingkungan kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seakan-akan kehilangan vitalitas. Pada tahun 1953 Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Wertheim, dkk. mengadakan simposium. Mereka membicarakan tentang impase (kemacetan) dan krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia. Hal ini ditulis oleh Soedjatmoko pada essainya dalam sebuah majalah Konfrontasi karena ia melihat adanya krisis sastra sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik.
Sitor Situmorang dalam karyanya yang berjudul Krisis H.B. Jassin dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) mengemukakan bahwa yang ada bukanlah krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai sastra. Salah satu alasan utama mereka yang menuduh ada krisis sastra Indonesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Lahirnya sastra majalah disebabkan pada waktu itu majalah sedang mendapat tempat, sehingga para pengarang pun lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
Para pengarang periode 50 ini lebih menitikberatkan pada penciptaan. Hal ini tentu berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru setelah berkesempatan menambah pengetahuannya, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya. Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Karyanya antara lain: Hujan Kepagian (1958), Rasa Sajangé (1961), dan Tiga Kota (1959).


3)      Periode 1961-1968
Periode ini tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Sejak tahun 1966, terbit majalah horison yang dipimpin oleh Muchtar Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.
Beberapa penyair pada periode ini, seperti Taufiq Ismail dengan karyanya antara lain: Tirani, Benteng, Sebuah Jaket Berlumur Darah, dan Jalan Segara. Selain itu, ada Goenawan Mohamad dengan karyanya berjudul Senja Pun Jadi Kecil, Kota Pun Jadi Putih dan Siapakah Laki-Laki Yang Rebah Di Taman Ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar