BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tindak
tutur merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks situasi tutur. Hal ini
sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang menyatakan bahwa tindak tutur
adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan, dan dalam bahasa
Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus, misalnya, permintaan maaf,
keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan. Peristiwa tutur merupakan
gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala individual, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Dalam peristiwa tutur banyak dilihat pada tujuan
peristiwanya dan pada tindak tutur dilihat pada makna atau arti tindakan dalam
tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang
terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi (Chaer, 2010: 27).
Tindak
tutur sebagai wujud peristiwa komunikasi bukanlah peristiwa yang terjadi dengan
sendirinya, melainkan mempunyai fungsi, mengandung maksud, dan tujuan tertentu
serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Bentuk-bentuk
tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan
tertentu. Tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu
atau makna yang dimaksud penutur dengan mengucapkan sesuatu (Nadar, 2009: 7).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin ada tuturan yang tidak
mengungkapkan suatu tujuan.
Searle
(dalam Wijana, 1996: 17-20) mengemukakan bahwa secara pragmatis
setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang
penutur, yakni tindak lokusi (locutionary
act), tindak ilokusi (ilocutionary
act), dan tindak perlokusi (perlocutionary
act). Tindak lokusi adalah
tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak ilokusi adalah sebuah tuturan selain berfungsi untuk
mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk
melakukan sesuatu. Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai daya
pengaruh (perlocutionary force) atau
efek bagi yang mendengarkannya.
Tindak
tutur ilokusi dalam komunikasi pada suatu penelitian penting untuk
diperhatikan. Wijana (1996: 19) menyatakan bahwa tindak ilokusi memberikan
tantangan dalam penelitian kebahasaan, sebab tindak ilokusi sulit
diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan
lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan
demikian, tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
Sehubungan
dengan hal itu, Yule (2006: 92) membagi tindak tutur ilokusi menjadi
lima kategori.
1.
Deklaratif yaitu jenis tindak tutur yang mengubah
dunia melalui tuturan.
2.
Representatif yaitu jenis tindak tutur yang menyatakan
apa yang diyakini penutur kasus atau bukan.
3.
Ekspresif yaitu jenis tindak tutur yang menyatakan
sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur jenis ini mencerminkan
pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan,
kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan.
4.
Direktif yaitu jenis tindak tutur yang dipakai oleh
penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini
menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi,
perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran.
5.
Komisif yaitu jenis tindak tutur yang dipahami oleh
penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan
datang.
Tindak
ilokusi ekspresif merupakan fokus yang dipilih pada penelitian ini. Pemilihan
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kalangan masyarakat Jawa di Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo,
Kabupaten Karanganyar terdapat banyak tuturan yang berupa ungkapan
perasaan para penutur yang terdapat di dalamnya. Searle (dalam Leech, 1993:
164) menyatakan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang mengungkapkan
atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi. Tindak tutur ini
berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan,
misalnya, mengucapkan terima kasih,
mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa,
dan sebagainya.
Tindak
tutur ekspresif berisi ungkapan perasaan atau sikap psikologis penutur terhadap
keadaan yang sedang dialami mitra tutur. Hal ini dapat digambarkan pada contoh
data (1) berikut ini.
Andriyas : Eh, Mas... Mas.
(Eh, Mas... Mas.)
Yoga : Emm... Pripun, Pak?
(Emm...
Bagaimana, Pak?)
Andriyas : Niki dibeta mawon tasih kathah kok.
(Ini dibawa saja masih banyak kok.)
Yoga : Oh, matur nuwun nggih.
(Oh, terima kasih ya.)
(Data 1/ 13 November 2011)
Konteks
Tuturan:
Percakapan
ini terjadi di acara hajatan pernikahan.
Setelah merasa cukup lama menghadiri acara tersebut, Yoga hendak pulang bersama
teman-temannya. Sebelum pulang, ia dipanggil oleh Pak Andriyas karena akan
diberi beberapa tambahan makanan lagi.
Percakapan pada contoh data (1) di atas, Yoga
menuturkan tindak tutur ekspresif “berterima kasih”. Tindak tutur ekspresif “berterima
kasih” terdapat pada tuturan Yoga yang mengatakan “oh, matur nuwun nggih”.
Melalui tuturan tersebut, Yoga bermaksud ingin membalas kebaikan hati dari Pak
Andriyas karena sudah memberi makanan lagi untuknya. Wajah Yoga pun spontan
terlihat sangat senang ketika diberi makanan lagi karena ia masih belum merasa
kenyang sewaktu makan di acara tersebut.
Merujuk pada contoh tuturan data (1) di atas dapat
dinyatakan bahwa suatu tuturan dapat berisi ungkapan perasaan para penuturnya.
Tuturan-tuturan yang mengandung ungkapan perasaan penuturnya banyak ditemukan
di Desa Wonorejo, Kecamatan
Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Fenomena kebahasaan inilah yang
mendorong peneliti untuk menjadikan Desa
Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar sebagai objek
penelitian ilmu pragmatik, khususnya tentang tindak tutur ekspresif.
Dalam
berkomunikasi, penutur harus memperhatikan norma-norma sosial budaya dari
bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, seperti cara berbicara, jarak
penutur dan lawan tutur, jenis kalimat atau ekspresi yang digunakan, kepada
siapa, kekuatan suara, dan sebagainya. Jika hal ini tidak diperhatikan maka
tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Masyarakat Jawa misalnya, berbicara dengan suara yang lembut merupakan
keharusan dan jika berbicara dilakukan dengan suara keras, maka penutur dapat
dikategorikan kurang atau tidak sopan.
Strategi yang digunakan oleh penutur dalam
berkomunikasi agar bisa berjalan dengan baik biasanya mempertimbangkan segi
sopan santun berbahasa. Hal ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang mesra dan
demi keselamatan berkomunikasi. Kesopanan dalam suatu interaksi
dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran
tentang wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan
dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk
wajah orang lain ketika orang lain itu tampak jauh secara sosial sering
dideskripsikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau
kesetiakawanan (Yule, 2006: 104-105).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil judul penelitian
“Strategi Bertindak Tutur Ekspresif di Kalangan Masyarakat Jawa dalam Wacana
Hajatan”.
B.
Pembatasan
Masalah
Pembatasan masalah digunakan untuk
mencegah adanya kekaburan masalah dan
mengarahkan penelitian ini agar lebih intensif dan efisien dengan tujuan yang
ingin dicapai.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian
ini dibatasi pada masalah “Strategi Bertindak Tutur Ekspresif di Kalangan
Masyarakat Jawa dalam Wacana Hajatan”.
C. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
ada dua masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
1.
Bagaimanakah
bentuk-bentuk tindak tutur ekspresif di kalangan masyarakat Jawa dalam wacana
hajatan?
2. Strategi apa yang digunakan oleh kalangan masyarakat
Jawa dalam wacana hajatan?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah tersebut, ada
dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
1. Menemukan
dan mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak
tutur ekspresif di kalangan masyarakat
Jawa dalam wacana hajatan.
2.
Menemukan dan mendeskripsikan
strategi yang digunakan oleh kalangan masyarakat
Jawa dalam wacana hajatan.
E.
Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu bahasa dalam
bidang pragmatik pada umumnya dan khususnya tentang kajian tindak tutur.
2.
Manfaat Teoretis
a.
Penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan acuan yang sangat bermanfaat untuk
berbagai kepentingan khususnya di bidang pragmatik. Bagi peneliti, penelitian
ini dapat menambah dan memperluas pengetahuan tentang pragmatik terutama kajian
tindak tutur.
b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi
masukan bagi pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan masalah yang sedang
dikaji dan menumbuhkan sikap kritis bagi penulis, dan siapa saja yang tertarik
pada kajian serupa pada umumnya.