Jumat, 29 Juni 2012

Skripsi Zen


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tindak tutur merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan, dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus, misalnya, permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan. Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala individual, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam peristiwa tutur banyak dilihat pada tujuan peristiwanya dan pada tindak tutur dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi (Chaer, 2010: 27).
Tindak tutur sebagai wujud peristiwa komunikasi bukanlah peristiwa yang terjadi dengan sendirinya, melainkan mempunyai fungsi, mengandung maksud, dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan mengucapkan sesuatu (Nadar, 2009: 7). Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan.
Searle (dalam Wijana, 1996: 17-20) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak ilokusi adalah sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya.
Tindak tutur ilokusi dalam komunikasi pada suatu penelitian penting untuk diperhatikan. Wijana (1996: 19) menyatakan bahwa tindak ilokusi memberikan tantangan dalam penelitian kebahasaan, sebab tindak ilokusi sulit diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian, tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
Sehubungan dengan hal itu, Yule (2006: 92) membagi tindak tutur ilokusi menjadi lima kategori.
1.      Deklaratif yaitu jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.
2.      Representatif yaitu jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan.
3.      Ekspresif yaitu jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur jenis ini mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan.
4.      Direktif yaitu jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi, perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran.
5.      Komisif yaitu jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
Tindak ilokusi ekspresif merupakan fokus yang dipilih pada penelitian ini. Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kalangan masyarakat Jawa di Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar terdapat banyak tuturan yang berupa ungkapan perasaan para penutur yang terdapat di dalamnya. Searle (dalam Leech, 1993: 164) menyatakan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.
Tindak tutur ekspresif berisi ungkapan perasaan atau sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami mitra tutur. Hal ini dapat digambarkan pada contoh data (1) berikut ini.
Andriyas  : Eh, Mas... Mas.
                  (Eh, Mas... Mas.)
Yoga        : Emm... Pripun, Pak?
                 (Emm... Bagaimana, Pak?)
Andriyas  : Niki dibeta mawon tasih kathah kok.
                  (Ini dibawa saja masih banyak kok.)
Yoga        : Oh, matur nuwun nggih.
                  (Oh, terima kasih ya.)
(Data 1/ 13 November 2011)
Konteks Tuturan:
Percakapan ini terjadi  di acara hajatan pernikahan. Setelah merasa cukup lama menghadiri acara tersebut, Yoga hendak pulang bersama teman-temannya. Sebelum pulang, ia dipanggil oleh Pak Andriyas karena akan diberi beberapa tambahan makanan lagi.
Percakapan pada contoh data (1) di atas, Yoga menuturkan tindak tutur ekspresif “berterima kasih”. Tindak tutur ekspresif “berterima kasih” terdapat pada tuturan Yoga yang mengatakan “oh, matur nuwun nggih”. Melalui tuturan tersebut, Yoga bermaksud ingin membalas kebaikan hati dari Pak Andriyas karena sudah memberi makanan lagi untuknya. Wajah Yoga pun spontan terlihat sangat senang ketika diberi makanan lagi karena ia masih belum merasa kenyang sewaktu makan di acara tersebut.
Merujuk pada contoh tuturan data (1) di atas dapat dinyatakan bahwa suatu tuturan dapat berisi ungkapan perasaan para penuturnya. Tuturan-tuturan yang mengandung ungkapan perasaan penuturnya banyak ditemukan di Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Fenomena kebahasaan inilah yang mendorong peneliti untuk menjadikan Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar sebagai objek penelitian ilmu pragmatik, khususnya tentang tindak tutur ekspresif.
Dalam berkomunikasi, penutur harus memperhatikan norma-norma sosial budaya dari bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, seperti cara berbicara, jarak penutur dan lawan tutur, jenis kalimat atau ekspresi yang digunakan, kepada siapa, kekuatan suara, dan sebagainya. Jika hal ini tidak diperhatikan maka tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Masyarakat Jawa misalnya, berbicara dengan suara yang lembut merupakan keharusan dan jika berbicara dilakukan dengan suara keras, maka penutur dapat dikategorikan kurang atau tidak sopan.
Strategi yang digunakan oleh penutur dalam berkomunikasi agar bisa berjalan dengan baik biasanya mempertimbangkan segi sopan santun berbahasa. Hal ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang mesra dan demi keselamatan berkomunikasi. Kesopanan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang lain itu tampak jauh secara sosial sering dideskripsikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau kesetiakawanan (Yule, 2006: 104-105).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil judul penelitian “Strategi Bertindak Tutur Ekspresif di Kalangan Masyarakat Jawa dalam Wacana Hajatan”.
B.     Pembatasan Masalah
            Pembatasan masalah digunakan untuk mencegah adanya kekaburan masalah dan mengarahkan penelitian ini agar lebih intensif dan efisien dengan tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan latar belakang tersebut,  penelitian ini dibatasi pada masalah “Strategi Bertindak Tutur Ekspresif di Kalangan Masyarakat Jawa dalam Wacana Hajatan”.
C.    Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut, ada dua masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
1.      Bagaimanakah bentuk-bentuk tindak tutur ekspresif di kalangan masyarakat Jawa dalam wacana hajatan?
2.      Strategi apa yang digunakan oleh kalangan masyarakat Jawa dalam wacana hajatan?
D.    Tujuan Penelitian
            Berdasarkan masalah tersebut, ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
1.      Menemukan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak tutur ekspresif di kalangan masyarakat Jawa dalam wacana hajatan.
2.      Menemukan dan mendeskripsikan strategi yang digunakan oleh kalangan masyarakat Jawa dalam wacana hajatan.
E.     Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu bahasa dalam bidang pragmatik pada umumnya dan khususnya tentang kajian tindak tutur.
2.      Manfaat Teoretis
a.       Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan acuan yang sangat bermanfaat untuk berbagai kepentingan khususnya di bidang pragmatik. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah dan memperluas pengetahuan tentang pragmatik terutama kajian tindak tutur.
b.      Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan bagi pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan masalah yang sedang dikaji dan menumbuhkan sikap kritis bagi penulis, dan siapa saja yang tertarik pada kajian serupa pada umumnya.


Sejarah Sastra Indonesia


A.    Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia
Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (1995).
1.      Ajip Rosidi
Secara garis besar Ajip Rosidi (1969:13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut.
I.       Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1)      Periode awal hingga 1933
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing. Pada tahun 1848 pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk orang-orang bumiputera terutama para priyayi. Dengan didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatlah pendidikan dan akhirnya bangsa Indonesia pun mulai mengerti kedudukannya sebagai bangsa yang dijajah. Sesudah tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan-karangan yang bersifat sastra atau dapat digolongkan sebagai karya sastra. Pada awal abad ke-20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman. Misalnya, roman berjudul Hikayat Siti Mariah karya H. Moekti.
Pengarang lain yang pada masa itu terbilang produktif adalah Mas Marco Martodikromo. Karyanya antara lain: Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar merupakan kritik langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk kuno yang tidak lagi sesuai dengan zaman modern. Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20-an adalah Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Dalam roman itu pengarangnya lebih realistis yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih.
2)      Periode 1933-1942
Periode ini diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-ideal. Pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poedjangga Baroe ini dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan”, tetapi setelah Indonesia merdeka majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dkk.
Kelahiran majalah Poedjangga Baroe yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandaskan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi. Polemik golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja, tetapi juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemik yang seru.
Motor dan pejuang Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana. Karyanya antara lain: Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), dan Layar Terkembang (1936). Layar Terkembang merupakan romannya yang terpenting. Melalui roman itu, ia ingin menyampaikan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya tentang peranan wanita dan kaum muda dalam pembangunan bangsa.
3)      Periode 1942-1945
Perubahan terjadi pada periode ini atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan. Situasi perang dan penderitaan ketika dijajah Jepang telah mematangkan jiwa bangsa kita. Bahasa Indonesia juga mengalami pematangan, seperti pada sajak-sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus. Bahasa sajak Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan. Kata-kata dipilihnya dengan cermat dan teliti karena kata tersebut bukan hanya memberikan gambaran atau tanggapan tentang hidup, tetapi dapat menjelmakan hidup itu sendiri.
Pada periode ini beberapa penyair muncul, seperti Usmar Ismail, Amal Hamzah, dan Rosihan Anwar. Pada zaman Jepang ini cerpen tumbuh subur, misalnya cerpen berjudul Anak Laut karya H.B. Jassin, Di Tepi Kawah karya Bakri Siregar. Selain itu, penulisan drama di zaman ini juga tumbuh subur. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan Perserikatan Oesaha Sandiwara Jawa yang dipimpin oleh Armijn Pane. Beberapa pengarang yang banyak membuat sandiwara antara lain: Armijn Pane, Usmar Ismail, Abu Hanifah, Idrus, Inu Kertapati, Kotot Sukardi, dan lain-lain.
Sandiwara yang ditulis oleh Armijn Pane antara lain: Jinak-jinak Merpati (1953), Antara Bumi dan Langit yang mempermasalahkan kedudukan kaum Indo di alam Indonesia merdeka. Selain itu, Usmar juga menulis sandiwara yang berjudul Api, Liburan Seniman, dan Citra yang kemudian diterbitkan dalam satu buku berjudul Sedih dan Gembira (1949). Idrus menulis Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Kotot Sukardi menulis Bende Mataram (1945), dan lain-lain.
II.    Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1)      Periode 1945-1953
Periode ini diwarnai  perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia. Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Tidak dapat dibantah pula bahwa sajak-sajak Anwar bernilai tinggi. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya benilai sastra. Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusastraan baru telah lahir. Pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45.
Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa Angkatan 45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. Pada tahun 1952 H.B. Jassin mengumumkan esai berjudul Angkatan 45 yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan 45. Jassin mengatakan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan 45 dengan Pujangga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan).
Tokoh utama dalam Angkatan 45 ini adalah Chairil Anwar. Ia mulai muncul di dunia kesenian pada zaman Jepang. Sajaknya yang termashur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang membersit-bersit dan individualistis ialah yang berjudul Aku. Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai “binatang jalang”, sebutan mana segera menjadi terkenal. Karyanya yang lain antara lain: Deru Campur Debu (kumpulan puisi, 1949), Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Luput (kumpulan puisi, 1949), dan Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi, 1950).
2)      Periode 1953-1961
Periode ini diwarnai  pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur. Setelah Chairil Anwar tiada, lingkungan kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seakan-akan kehilangan vitalitas. Pada tahun 1953 Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Wertheim, dkk. mengadakan simposium. Mereka membicarakan tentang impase (kemacetan) dan krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia. Hal ini ditulis oleh Soedjatmoko pada essainya dalam sebuah majalah Konfrontasi karena ia melihat adanya krisis sastra sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik.
Sitor Situmorang dalam karyanya yang berjudul Krisis H.B. Jassin dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) mengemukakan bahwa yang ada bukanlah krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai sastra. Salah satu alasan utama mereka yang menuduh ada krisis sastra Indonesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Lahirnya sastra majalah disebabkan pada waktu itu majalah sedang mendapat tempat, sehingga para pengarang pun lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
Para pengarang periode 50 ini lebih menitikberatkan pada penciptaan. Hal ini tentu berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru setelah berkesempatan menambah pengetahuannya, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya. Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Karyanya antara lain: Hujan Kepagian (1958), Rasa Sajangé (1961), dan Tiga Kota (1959).


3)      Periode 1961-1968
Periode ini tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Sejak tahun 1966, terbit majalah horison yang dipimpin oleh Muchtar Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.
Beberapa penyair pada periode ini, seperti Taufiq Ismail dengan karyanya antara lain: Tirani, Benteng, Sebuah Jaket Berlumur Darah, dan Jalan Segara. Selain itu, ada Goenawan Mohamad dengan karyanya berjudul Senja Pun Jadi Kecil, Kota Pun Jadi Putih dan Siapakah Laki-Laki Yang Rebah Di Taman Ini.



Angkatan 1920


ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Angkatan Balai Pustaka adalah karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920. Karya sastra ini diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek, dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa tersebut. Balai Pustaka didirikan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa, yaitu Bahasa Melayu Tinggi, Bahasa Jawa, dan Bahasa Sunda.
1.      Novel-novel dan Roman-roman pada Angkatan Balai Pustaka.
a.       Merari Siregar: Azab dan Sengsara (1920); Binasa karena Gadis Priangan (1931).
b.      Marah Roesli: Siti Nurbaya (1922); La Hami (1924).
d.      Djamaluddin AdinegoroDarah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928).
e.       Abdoel Moeis: Salah Asuhan (1928) dan Pertemuan Djodoh (1933).
f.       Tulis Sutan Sati : Tak Disangka (1923); Sengsara Membawa Nikmat (1928); Tak Membalas Guna (1932); dan Memutuskan Pertalian (1932).
g.      Mas Marco: Student Hidjo (1919); Mata Gelap (1914).
Pada Angkatan Balai Pustaka, roman Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Hal ini dikarenakan pengarang tidak hanya melukiskan masalah percintaan saja, tetapi juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai. Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat. Selain itu, roman terpenting yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 20an ialah Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Dalam karya itu pengarang lebih realistis di dalam menyoroti masalah kawin paksa dan juga membicarakan tentang pertentangan antara kaum muda dengan kaum tua.
2.      Puisi-puisi pada Angkatan Balai Pustaka.
a.       Muhammad Yamin: Tanah Air (1922); Indonesia, Tumpah Darahku (1928).
b.      Sanusi Pane: Pancaran Cinta (seberkas prosa lirik, 1926); Puspa Mega (1927); Madah Kelana (1931).
c.       Roestam Effendi: Percikan Permenungan; Bukan Beta Bijak Berperi.
Pada Angkatan Balai Pustaka, puisi yang berjudul Indonesia,Tumpah Darahku menjadi karya yang cukup penting. Hal ini dikarenakan dalam puisi tersebut menggambarkan semangat-semangat nasionalisme penyair yang mengagumi dan mencintai tanah airnya yaitu Indonesia. 
3.      Cerpen-cerpen pada Angkatan Balai Pustaka.
a.       Hasbullah Parinduri: Menyinggung Perasaan.
b.      Hamka: Di Dalam Lembah Kehidupan.
c.       Muhammad Kasim: Teman Duduk.
d.      Suman H.S.: Kawan bergelut.
e.       Saadah Aim: Taman Penghibur.
Pada Angkatan Balai Pustaka, cerpen yang berjudul  Teman Duduk karya Muhammad Kasim menjadi karya yang cukup penting. Hal ini dikarenakan cerpen tersebut merupakan pelopor lahirnya cerita pendek di Indonesia sehingga ia disebut sebagai Bapak Cerita Pendek Indonesia.
4.      Drama-drama pada Angkatan Balai Pustaka.
a.       Sanusi Pane: Kertajaya.
b.      Roestam Effendi: Bebasari.
c.       Saadah Alim: Pembalasannya.
d.      Adlim Afandi: Gadis Modern.
e.       Moh. Yamin: Ken arok dan Ken Dedes; Menantikan Surat dari Raja; dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata. 
Pada Angkatan Balai Pustaka, drama yang berjudul  Bebasari karya Roestam Effendi menjadi karya yang cukup penting dan berani. Hal ini dikarenakan drama Bebasari karya Roestam Effendi merupakan drama satire tentang tidak enaknya dijajah Belanda. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah Belanda, karena karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda.