IBU
MENYUSUI ANAK, SUAMI, DAN BUMI
Ibu adalah pusat keluarga. Tanpa keberadaannya sebuah
keluarga akan rapuh kehangatan. Kasih sayang seorang ibu memberi kehangatan
dalam rumahtangganya. Meskipun pemberian tanpa syarat adalah ciri utama sifat
keibuan, tetapi jelas seorang ibu tidak mampu memberikan segala-galanya untuk
semua anak-anaknya sepanjang waktu. Tentu saja krisis pasti akan terjadi sebab
ibu adakalanya harus dibagi dan berbagi.
Seorang perempuan
yang telah menjadi ibu tidaklah pernah mampu merekam seluruh rangkaian
peristiwa demi peristiwa, tahap demi tahap bagaimana ia bisa tumbuh dan
terbentuk menjadi ibu yang memiliki sifat keibuan. Ini terjadi pula pada saat
ia sedang dibagi dan berbagi. Ketiadaan “perhitungan” saat ia harus dibagi
untuk anak, suami, dan bangsa-negaranya membuat seorang perempuan yang telah
tumbuh dan terbentuk menjadi ibu tak pernah merasa rugi.
Bagaimana sosok
ibu dibentuk dalam bahasa Indonesia? Untuk menelusuri jejak jawaban pertanyaan
itu tidak salah bila menyapa figur seorang ibu yang berulang kali diceritakan
dalam sastra Indonesia kontemporer. Student
Hidjo, novel Mas Marco Kartodikromo (1919), dokumentasi awal sejarah figur
ibu (Indonesia) zaman kolonial. Ibu Hidjo digambarkan sebagai seseorang yang
penuh kasih sayang dengan anaknya. Sempat sakit karena berpisah dengan anaknya,
Hidjo, yang melanjutkan ke sekolah ingenieur
di negeri Belanda. Sang ibu juga mampu menangkap isi hati anaknya Hidjo yang
sesungguhnya lebih mencintai Wungu, bukan Biru yang telah menjadi tunangannya.
Ibu juga tau sesungguhnya Biru lebih mencintai Raden Mas Wardoyo, kakak
laki-laki Wungu yang juga sahabat Hidjo. Sang ibu mampu mendamaikan, mencari,
dan memberikan solusi agar kehangatan keluarga tetap bersinar. Lewat sepucuk
surat Ibu Hidjo, ditujukan kepada ayahanda Wungu, seorang bangsawan yang
disegani, kisah cinta ini berakhir bahagia. Hidjo menikah dengan Wungu dan Biru
menikah dengan Raden Mas Wardoyo.
Sosok ibu Hidjo
yang mencintai keluarganya, berjuang mempertahankan keutuhan dan kehangatan
keluarganya masih bertahan seiring perjalanan bangsa ini dalam menikmati
kebebasan melalui kemerdekaan. Dua Ibu
milik Arswendo Atmowiloto yang berlatar masa Orde Baru pun mengisahkan seorang
ibu yang mampu adil dalam menganugerahkan kebahagiaan bagi anak-anaknya. Ia
rela mengorbankan sepenuh hidupnya untuk merawat, membesarkan, dan
membahagiakan anak-anak yang tidak lahir dari rahimnya.
Ibu mampu
mencurahkan kebahagiaan dengan energi kehangatan kepada anaknya sekalipun bukan
dari rahimnya. Bukan hanya itu, ibu juga sekaligus mampu memberikan
perlindungan kepada anak dan suaminya. Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia mencatat sosok ibu dari
bangsa pribumi yang mampu menyusui suaminya bangsa Belanda. Nyi Ontosoroh
tampil sebagai sosok perempuan perkasa. Meskipun ia seorang gundik, tak
mengenal sekolah, namun ia fasih berbahasa Belanda, menguasai pengetahuan
melebihi nona-nona Belanda, bahkan mampu memimpin dan membesarkan perusahaan
untuk menghidupi keluarganya dan sekian keluarga buruhnya. Saat suaminya Herman
Milemma “impoten”, lari dari tangung jawab terhadap keluarganya menuju dunia
pelacuran, Nyi Ontosoroh terus berjuang menjadi seorang ibu dan sekaligus ayah
bagi anak-anaknya, menjadi seorang istri dan juga “suami” bagi suaminya.
Seperti masa
kanak-kanak, masa-masa keibuan juga sublim untuk diingat. Kekuasaan memperalat
dan memperkosa sosok ibu seutuhnya. Sang ibu mampu memberikan segalanya untuk
anaknya. Ia tidak pernah menuntut apa-apa, semua pengorbanannya natural, hanya
untuk kebahagiaan sang anak. Hubungan ibu-anak yang penuh kehangatan dan
kebahagian ini dipakai (tanpa izin) dalam hubungan negara-bangsa. Pemerintah
(sebagai ibu) seolah sah menuntut pengorbaan tak terbatas dari rakyat (sebagai
anaknya). Itulah yang paling ditekankan pemerintah kepada rakyat, kewajiban
moral untuk membalas pengorbanan sang ibu.
Sosok “ibu” yang
sesungguhnya telah menyublim perlahan digantikan sosok “ibu pertiwi” yang harus
dipercaya dan diagungkan bagi setiap anak-anak bangsa ini. Ibu pertiwi yang
untuknya setiap anak bangsa wajib rela berkorban untuknya tanpa boleh mengenal
lelah. Akhirnya ibu tidak lagi mampu dan bisa menolak menyusui anak, suami, dan
buminya (bangsa-negara).
Gambaran-gambaran
ibu (Indonesia) yang dicatat dalam novel-novel Indonesia kontemporer itu hanyalah
sekelumit dari hakekat ibu yang sesunggunya dan akhirnya dijadikan konsep
hubungan bangsa-negara. Tetapi setidaknya dari satu atau dua biji polemik itu
kita jadi tahu bahwa sosok “ibu” dan “ibu pertiwi” bukanlah sosok yang
terbentuk secara natural. Ia dikonstruksi oleh kuasa kebudayaan, modernisasi,
pengetahuan, dan pemerintahan. Itulah hal-hal yang membuat ingatan kita tentang
ibu kadang kala kuat dan kala lainnya kabur melebur bimbang akan sosoknya yang
utuh dan seharusnya seperti apa? Tabik! [rT]
Oleh
Rahmah Purwahida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar