Jumat, 09 Maret 2012

IBU


IBU MENYUSUI ANAK, SUAMI, DAN BUMI


Ibu adalah pusat keluarga. Tanpa keberadaannya sebuah keluarga akan rapuh kehangatan. Kasih sayang seorang ibu memberi kehangatan dalam rumahtangganya. Meskipun pemberian tanpa syarat adalah ciri utama sifat keibuan, tetapi jelas seorang ibu tidak mampu memberikan segala-galanya untuk semua anak-anaknya sepanjang waktu. Tentu saja krisis pasti akan terjadi sebab ibu adakalanya harus dibagi dan berbagi.
Seorang perempuan yang telah menjadi ibu tidaklah pernah mampu merekam seluruh rangkaian peristiwa demi peristiwa, tahap demi tahap bagaimana ia bisa tumbuh dan terbentuk menjadi ibu yang memiliki sifat keibuan. Ini terjadi pula pada saat ia sedang dibagi dan berbagi. Ketiadaan “perhitungan” saat ia harus dibagi untuk anak, suami, dan bangsa-negaranya membuat seorang perempuan yang telah tumbuh dan terbentuk menjadi ibu tak pernah merasa rugi.
Bagaimana sosok ibu dibentuk dalam bahasa Indonesia? Untuk menelusuri jejak jawaban pertanyaan itu tidak salah bila menyapa figur seorang ibu yang berulang kali diceritakan dalam sastra Indonesia kontemporer. Student Hidjo, novel Mas Marco Kartodikromo (1919), dokumentasi awal sejarah figur ibu (Indonesia) zaman kolonial. Ibu Hidjo digambarkan sebagai seseorang yang penuh kasih sayang dengan anaknya. Sempat sakit karena berpisah dengan anaknya, Hidjo, yang melanjutkan ke sekolah ingenieur di negeri Belanda. Sang ibu juga mampu menangkap isi hati anaknya Hidjo yang sesungguhnya lebih mencintai Wungu, bukan Biru yang telah menjadi tunangannya. Ibu juga tau sesungguhnya Biru lebih mencintai Raden Mas Wardoyo, kakak laki-laki Wungu yang juga sahabat Hidjo. Sang ibu mampu mendamaikan, mencari, dan memberikan solusi agar kehangatan keluarga tetap bersinar. Lewat sepucuk surat Ibu Hidjo, ditujukan kepada ayahanda Wungu, seorang bangsawan yang disegani, kisah cinta ini berakhir bahagia. Hidjo menikah dengan Wungu dan Biru menikah dengan Raden Mas Wardoyo.
Sosok ibu Hidjo yang mencintai keluarganya, berjuang mempertahankan keutuhan dan kehangatan keluarganya masih bertahan seiring perjalanan bangsa ini dalam menikmati kebebasan melalui kemerdekaan. Dua Ibu milik Arswendo Atmowiloto yang berlatar masa Orde Baru pun mengisahkan seorang ibu yang mampu adil dalam menganugerahkan kebahagiaan bagi anak-anaknya. Ia rela mengorbankan sepenuh hidupnya untuk merawat, membesarkan, dan membahagiakan anak-anak yang tidak lahir dari rahimnya.
Ibu mampu mencurahkan kebahagiaan dengan energi kehangatan kepada anaknya sekalipun bukan dari rahimnya. Bukan hanya itu, ibu juga sekaligus mampu memberikan perlindungan kepada anak dan suaminya. Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia mencatat sosok ibu dari bangsa pribumi yang mampu menyusui suaminya bangsa Belanda. Nyi Ontosoroh tampil sebagai sosok perempuan perkasa. Meskipun ia seorang gundik, tak mengenal sekolah, namun ia fasih berbahasa Belanda, menguasai pengetahuan melebihi nona-nona Belanda, bahkan mampu memimpin dan membesarkan perusahaan untuk menghidupi keluarganya dan sekian keluarga buruhnya. Saat suaminya Herman Milemma “impoten”, lari dari tangung jawab terhadap keluarganya menuju dunia pelacuran, Nyi Ontosoroh terus berjuang menjadi seorang ibu dan sekaligus ayah bagi anak-anaknya, menjadi seorang istri dan juga “suami” bagi suaminya.
Seperti masa kanak-kanak, masa-masa keibuan juga sublim untuk diingat. Kekuasaan memperalat dan memperkosa sosok ibu seutuhnya. Sang ibu mampu memberikan segalanya untuk anaknya. Ia tidak pernah menuntut apa-apa, semua pengorbanannya natural, hanya untuk kebahagiaan sang anak. Hubungan ibu-anak yang penuh kehangatan dan kebahagian ini dipakai (tanpa izin) dalam hubungan negara-bangsa. Pemerintah (sebagai ibu) seolah sah menuntut pengorbaan tak terbatas dari rakyat (sebagai anaknya). Itulah yang paling ditekankan pemerintah kepada rakyat, kewajiban moral untuk membalas pengorbanan sang ibu.
Sosok “ibu” yang sesungguhnya telah menyublim perlahan digantikan sosok “ibu pertiwi” yang harus dipercaya dan diagungkan bagi setiap anak-anak bangsa ini. Ibu pertiwi yang untuknya setiap anak bangsa wajib rela berkorban untuknya tanpa boleh mengenal lelah. Akhirnya ibu tidak lagi mampu dan bisa menolak menyusui anak, suami, dan buminya (bangsa-negara).
Gambaran-gambaran ibu (Indonesia) yang dicatat dalam novel-novel Indonesia kontemporer itu hanyalah sekelumit dari hakekat ibu yang sesunggunya dan akhirnya dijadikan konsep hubungan bangsa-negara. Tetapi setidaknya dari satu atau dua biji polemik itu kita jadi tahu bahwa sosok “ibu” dan “ibu pertiwi” bukanlah sosok yang terbentuk secara natural. Ia dikonstruksi oleh kuasa kebudayaan, modernisasi, pengetahuan, dan pemerintahan. Itulah hal-hal yang membuat ingatan kita tentang ibu kadang kala kuat dan kala lainnya kabur melebur bimbang akan sosoknya yang utuh dan seharusnya seperti apa? Tabik! [rT]

Oleh Rahmah Purwahida


Tidak ada komentar:

Posting Komentar