Jumat, 02 Maret 2012

Sekolah


Bocah Rindu Sekolah
By        :  A. R.  




Budi adalah anak kecil berkulit hitam, umurnya 11 tahun. Dia hanya tinggal bersama ibunya, pada usia 9 tahun ayahnya meninggal dunia karena sakit keras. Saat ini Budi bekerja untuk mencari nafkah bersama ibunya. Namun, udah dua minggu ini ibunya terkena penyakit lumpuh sehingga tidak bisa beraktivitas seperti hari-hari biasanya. Budi harus bekerja keras untuk mencari uang untuk menghidupi keluarga. Budi putus sekolah 2 tahun lalu dikarenakan biaya sekolah yang melambung tinggi.
Setiap pagi, jam lima setelah habis sholat subuh dia sudah harus berkemas untuk menjual koran. Di saat sepagi itu dia harus melangkah melawan dinginya pagi, menyusuri jalan untuk menawarkan koran. Tidak sedikit orang yang berhati dermawan yang memberi uang lebih saat membeli korannya. Meskipun hidup di bawah cukup, tetapi Budi masih ingat menyisakan uang untuk ditabung. Sekitar jam 9 Budi pulang ke rumah dengan membawakan nasi bungkus untuk ibunya. Di rumah yang kecil dan kumuh itu Budi selalu menuangkan keluh kesahnya setiap hari. Setelah Budi menyuapi ibunya makan, anak itu kemudian mencuci pakaian yang kotor.
Suatu pagi, Budi bertanya kepada ibunya, “Bu, kenapa Budi jadi kangen sama bapak?”. Ibunya tersenyum, senyum ramah seorang ibu“. Mungkin kamu sudah lama tidak ke makam bapak, kalau kamu kesana sendiri berani kan?”, air mata ibu menetes meski senyumnya masih terpancar. “Bu, jangan menangis lagi, Budi jadi ikut sedih. Maafkan Budi ya, sudah bikin ibu jadi sedih,,,” Budi memeluk ibunya erat. Budi kembali berujar “Nanti sore Budi akan ke makam bapak, Budi akan berdoa untuk bapak”. Ibu mengelus kepala anaknya lembut” Iya,,, kamu hati-hati di jalan… kamu memang anak kebangggaan ibu dan bapak”.
Sehabis percakapan itu Budi mengambil air hangat untuk membasuh badan ibunya sehabis itu Budi membersihkan rumah, tidak lupa dia pun merapikan kamarnya karena tadi pagi ia belum sempat merapikannya. Saat membuka lemari si Budi menemukan seragam sekolahnya yang sudah kusam dan pudar. Saat itu ia meneteskan air mata, si Budi pun mencoba memakainya kembali. Kemudian ia bergegas menemui ibunya dengan memakai seragam sekolahnya dulu, maklum si Budi sudah lama meninggalkan sekolah jadi ia kangen sekolah. Dia duduk di samping ibunya dan bertanya kepada ibunya “Bu, Budi cocok tidak memakai baju ini lagi?”. “Cocok Nak, bagus sekali” jawab ibunya. Dengan cepat Budi bilang lagi “kapan Budi bisa sekolah lagi Bu?”. Ibunya menjawab dengan sedikit tertunduk lesu, “Budi anakku sayang, saat ini ibu tidak ada biaya Nak, tetapi suatu saat ibu yakin kamu akan bisa sekolah lagi”. “Kenapa ya Bu, orang-orang yang di senayan tidak memikirkan kita? Apa kita bukan rakyatnya? Saya lihat KTP Ibu WNI tapi mengapa mereka tidak peduli?”, celoteh si Budi kepada ibunya. Dengan senyum ibunya menjawab “Nak, kamu tidak usah memikirkan mereka, kita saja makan susah yang disana itu suka piknik ke luar negeri jadi tidak tahu suara rakyat yang melarat”. Budi kemudian menyambung perkataan Ibunya. “iya tu Bu, kemarin saya pas jualan koran ada berita, orang-orang yang di Senayan ingin membangun gedung baru yang dananya 1 triliun lebih”. Dan Budi melanjutkan pertanyaannya, “Bu, I1 triliun itu nol nya berapa? “. Ibunya pun menjawab “Ibu juga tidak tahu Nak, yang jelas bisa dipakai bayar sekolah ribuan anak-anak tidak mampu seperti kamu”. Dengan penuh semangat dan harapan budi pun berkata ”pasti Budi suatu saat pasti bisa sekolah lagi Bu, Budi akan membahagiakan Ibu, dan Budi akan menjadi seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Gusdur Bu”. Ibunya pun berkata” Benar Nak, bermimpilah setinggi mungkin karena bermimpi itu gratis”. Setelah itu semua Budi pun pamitan kepada Ibunya dan berkemas untuk ke makam Bapaknya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar