Pasar
Mencipta Keluarga
Keluarga kini
telah disahkan sebagai komoditi. Harga dan peredarannya ditentukan penguasa
pasar. Akibatnya, posisi dan relasi keluarga yang seharusnya diatur kepala
keluarga berganti ditentukan sesuai selera pasar. Definisinya pun
terombang-ambing di antara gelombang kebutuhan pasar yang pasang surut.
Sejak kultur
agraris digilas industrialisasi, masyarakat terpaksa melakukan penyesuaian
nilai dan norma. Kemudian memaksa posisi dan relasi keluarga menuju ke arah
nilai dan norma pasar. Persaingan dalam pasar itu memudarkan batas solidaritas.
Dan, anggota keluarga mulai terintegrasi ke dalam satu sistem dunia dan relasi
di luar teritori keluarga. Pusat kekuasaan baru itu telah memberi kekuatan pada
anggota keluarga untuk melakukan pembangkangan terhadap nilai dan tata aturan
yang telah disepakati dan berlaku.
Student Hidjo, novel Mas Marco Kartodikromo (1919), dokumentasi sejarah pusat kekuasaan
baru mampu menggerakan Hidjo untuk menentang nilai dan tata aturan yang telah
ditanamkan dan diyakininya sebagai keluarga Jawa. Berikut ini sepenggal suara
dari novel itu, “Marilah kita pergi ke hotel Scheveningen, kata Betje kepada
Hidjo dan hatinya berdebar-debaran. “Nanti kamu minta saja sewa satu kamar buat
orang dua.” “Baik,” menjawab Hidjo dengan kebingungan tetapi hati tetap.
“Apakah saya bisa dapat kamar di sini buat dua orang?” tanya Hidjo kepada
tukang hotel. Sesudahnya, dia orang masuk hotel. “Bisa, Tuan,” menjawab tukang
hotel, dan Hidjo ditunjukkan kamarnya. Itu saat juga Hidjo dan Betje terus
masuk di dalam kamar yang sudah disediakan. Apakah yang telah kejadian di sini,
itulah Tuan pembaca pikir sendiri.
Petikan kisah itu
menggambarkan Hidjo melakukan hubungan pra-nikah dengan Betje, seorang nona
dari keluarga Belanda, tempat ia tinggal saat menempuh sekolah di negeri itu.
Padahal, Hidjo telah memiliki tunangan, R A Biru, yang dicintai diri dan
keluarganya. Namun demikian, ketentuan pasar di Belanda lah yang mengubah
haluan keyakinan Hidjo untuk meninggalkan nilai dan aturan Jawa.
Nihil
tuntutan
Ikatan-ikatan
tradisional mulai runtuh ketika kepala keluarga kehilangan otoritas dan
digantikan penguasa pasar. Atas nama mencapai gelar keluarga ideal berdasarkan
penilaian kelas sosial, ia harus tunduk pada mekanisme pasar. Keputusan “mengantarkan”
anak ke sekolah dilandasi tujuan menggapai kelas sosial yang lebih tinggi.
Seperti keputusan orang tua Hidjo dan Hanafi dalam Salah Asuhan (Abdul Muis), yang mengirim mereka ke Belanda untuk
mengambil gelar demi pencapaian ke jenjang kelas sosial tinggi.
Semenjak sekolah
dialihfungsikan menjadi alat pencapaian status sosial, sejak itulah ia menjadi
mesin pencetak keluarga pasar. Sekolah yang telah menjadi arena pergeseran
batas-batas keluarga dianggap lazim. Keruntuhan komunalisme sebagai ciri keutuhan
keluarga dilegitimasi sebagai kesuksesan bagi sekolah. Di sanalah sekolah tak
lagi mampu menyangkal bahwa ia telah berperan dalam memunculkan bentuk-bentuk
solidaritas baru yang menghasilkan keluarga-keluarga semu, yang menggeser
hakikat keluarga.
Nilai tidak lagi
dikonstruksikan dengan harmoni, tetapi dibangun dengan negosiasi-negosiasi yang
ditanamkan sekolah. Saat itulah, nilai-nilai yang berbicara dalam keluarga
adalah nilai-nilai pasar yang menguasai sekolah. Bila nilai-nilai itu adalah
nilai-nilai Barat, maka akan menciptakan keluarga Barat. Sebagaimana kisah
Hanafi, seorang pemuda Minangkabau lulusan HBS Batavia bersikeras meninggalkan
anak dan istrinya yang berdarah Minang asli. Tega ia lakukan itu, sebab
ambisinya memiliki sebuah keluarga Barat bersama Corrie, seorang gadis campuran
Minangkabau-Perancis.
Kepasrahan orang
tua menggiring anak ke sekolah agar diasuh ala Barat inilah akar legalisasi
pemberontakan Hidjo terhadap nilai dan norma keluarga Jawa, dan penolakan
Hanafi terhadap keluarga Minangkabau. Hidjo sempat memiliki kebimbangan antara
memilih kembali ke tengah-tengah keluarganya atau menetap di Belanda bersama
keluarga baru dan sekolah ingenieur-nya.
Hanafi memilih memisahkan diri dari keluarganya demi nilai dan norma Barat yang
dicamkan sekolahnya.
Keluarga telah
mengalami kematian simbolik dalam kasus Hidjo, sebab “ruh” keluarga Jawa itu hanya diserahkan pada
satu anggota keluarga, yang dikonstruksi dan dikontrol oleh pihak luar
(sekolah). Sedangkan dalam kasus Hanafi, keluarga telah mengalami kematian
fisik, sebab tidak terdefinisikan lagi. Anggota keluarga terenggut satu persatu
ke luar dari lingkungannya. Mereka memilih asyik dengan keluarga-keluarga semu
yang dikonstruksikan oleh sekolahnya, Hidjo dengan keluarga Belanda tempat ia
dititipkan dan Hanafi dengan keluarga barunya bersama Corrie.
Sekolah tidak
hanya menyebabkan seorang anak memutuskan untuk memisahkan diri dari
keluarganya tetapi ia juga menjadi alasan bagi orang tua dalam memaksa anak
untuk menerima dipisahkan dari keluarganya. Hamengku Buwono IX juga
mengalaminya. Demi menamatkan sekolah dasarnya, ia menghabiskan masa
kanak-kanaknya di lingkungan keluarga Belanda, yaitu Mulder dan Cook. Hingga
akhirnya, peran-peran yang dimainkannya mengalami redefinisi, yakni dari peran
sebagai anak pribumi dari keluarga keraton menjadi anak keluarga Belanda yang
kebarat-baratan.
Peran demi peran
yang dimainkan oleh Hidjo, Hanafi, Hamengku Buwono IX di dalam berbagai variasi
keluarga itu semua dilegalkan atas nama sekolah. Padahal, peran-peran itu
membawa mereka memasuki lokasi disintegrasi anggota keluarga yang melemahkan
relasi sesungguhnya. Namun, semua itu dianggap lazim dan dilegalkan. Bahkan,
sekolah nihil dari tuntutan bahwa ia kerap kali cuci tangan dari fenomena
disintegrasi keluarga.
Akankah kesakralan
keluarga legal dipecahkan oleh sebuah institusi suci bernama sekolah? Tentu
tidak! Kesakralan kedua lembaga itu seharusnya sama-sama dijaga tanpa mengotori
satu dan lainnya. Kini, pengembalian fungsi keluarga pada hakikatnya adalah
pekerjaan rumah yang mendesak bagi sekolah. Tabik!
Oleh
Rahmah Purwahida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar