Jumat, 09 Maret 2012

Keluarga


Pasar Mencipta Keluarga


Keluarga kini telah disahkan sebagai komoditi. Harga dan peredarannya ditentukan penguasa pasar. Akibatnya, posisi dan relasi keluarga yang seharusnya diatur kepala keluarga berganti ditentukan sesuai selera pasar. Definisinya pun terombang-ambing di antara gelombang kebutuhan pasar yang pasang surut.
Sejak kultur agraris digilas industrialisasi, masyarakat terpaksa melakukan penyesuaian nilai dan norma. Kemudian memaksa posisi dan relasi keluarga menuju ke arah nilai dan norma pasar. Persaingan dalam pasar itu memudarkan batas solidaritas. Dan, anggota keluarga mulai terintegrasi ke dalam satu sistem dunia dan relasi di luar teritori keluarga. Pusat kekuasaan baru itu telah memberi kekuatan pada anggota keluarga untuk melakukan pembangkangan terhadap nilai dan tata aturan yang telah disepakati dan berlaku.
Student Hidjo, novel Mas Marco Kartodikromo (1919), dokumentasi sejarah pusat kekuasaan baru mampu menggerakan Hidjo untuk menentang nilai dan tata aturan yang telah ditanamkan dan diyakininya sebagai keluarga Jawa. Berikut ini sepenggal suara dari novel itu, “Marilah kita pergi ke hotel Scheveningen, kata Betje kepada Hidjo dan hatinya berdebar-debaran. “Nanti kamu minta saja sewa satu kamar buat orang dua.” “Baik,” menjawab Hidjo dengan kebingungan tetapi hati tetap. “Apakah saya bisa dapat kamar di sini buat dua orang?” tanya Hidjo kepada tukang hotel. Sesudahnya, dia orang masuk hotel. “Bisa, Tuan,” menjawab tukang hotel, dan Hidjo ditunjukkan kamarnya. Itu saat juga Hidjo dan Betje terus masuk di dalam kamar yang sudah disediakan. Apakah yang telah kejadian di sini, itulah Tuan pembaca pikir sendiri.
Petikan kisah itu menggambarkan Hidjo melakukan hubungan pra-nikah dengan Betje, seorang nona dari keluarga Belanda, tempat ia tinggal saat menempuh sekolah di negeri itu. Padahal, Hidjo telah memiliki tunangan, R A Biru, yang dicintai diri dan keluarganya. Namun demikian, ketentuan pasar di Belanda lah yang mengubah haluan keyakinan Hidjo untuk meninggalkan nilai dan aturan Jawa.
Nihil tuntutan
Ikatan-ikatan tradisional mulai runtuh ketika kepala keluarga kehilangan otoritas dan digantikan penguasa pasar. Atas nama mencapai gelar keluarga ideal berdasarkan penilaian kelas sosial, ia harus tunduk pada mekanisme pasar. Keputusan “mengantarkan” anak ke sekolah dilandasi tujuan menggapai kelas sosial yang lebih tinggi. Seperti keputusan orang tua Hidjo dan Hanafi dalam Salah Asuhan (Abdul Muis), yang mengirim mereka ke Belanda untuk mengambil gelar demi pencapaian ke jenjang kelas sosial tinggi.
Semenjak sekolah dialihfungsikan menjadi alat pencapaian status sosial, sejak itulah ia menjadi mesin pencetak keluarga pasar. Sekolah yang telah menjadi arena pergeseran batas-batas keluarga dianggap lazim. Keruntuhan komunalisme sebagai ciri keutuhan keluarga dilegitimasi sebagai kesuksesan bagi sekolah. Di sanalah sekolah tak lagi mampu menyangkal bahwa ia telah berperan dalam memunculkan bentuk-bentuk solidaritas baru yang menghasilkan keluarga-keluarga semu, yang menggeser hakikat keluarga.
Nilai tidak lagi dikonstruksikan dengan harmoni, tetapi dibangun dengan negosiasi-negosiasi yang ditanamkan sekolah. Saat itulah, nilai-nilai yang berbicara dalam keluarga adalah nilai-nilai pasar yang menguasai sekolah. Bila nilai-nilai itu adalah nilai-nilai Barat, maka akan menciptakan keluarga Barat. Sebagaimana kisah Hanafi, seorang pemuda Minangkabau lulusan HBS Batavia bersikeras meninggalkan anak dan istrinya yang berdarah Minang asli. Tega ia lakukan itu, sebab ambisinya memiliki sebuah keluarga Barat bersama Corrie, seorang gadis campuran Minangkabau-Perancis.
Kepasrahan orang tua menggiring anak ke sekolah agar diasuh ala Barat inilah akar legalisasi pemberontakan Hidjo terhadap nilai dan norma keluarga Jawa, dan penolakan Hanafi terhadap keluarga Minangkabau. Hidjo sempat memiliki kebimbangan antara memilih kembali ke tengah-tengah keluarganya atau menetap di Belanda bersama keluarga baru dan sekolah ingenieur-nya. Hanafi memilih memisahkan diri dari keluarganya demi nilai dan norma Barat yang dicamkan sekolahnya.
Keluarga telah mengalami kematian simbolik dalam kasus Hidjo, sebab  “ruh” keluarga Jawa itu hanya diserahkan pada satu anggota keluarga, yang dikonstruksi dan dikontrol oleh pihak luar (sekolah). Sedangkan dalam kasus Hanafi, keluarga telah mengalami kematian fisik, sebab tidak terdefinisikan lagi. Anggota keluarga terenggut satu persatu ke luar dari lingkungannya. Mereka memilih asyik dengan keluarga-keluarga semu yang dikonstruksikan oleh sekolahnya, Hidjo dengan keluarga Belanda tempat ia dititipkan dan Hanafi dengan keluarga barunya bersama Corrie.
Sekolah tidak hanya menyebabkan seorang anak memutuskan untuk memisahkan diri dari keluarganya tetapi ia juga menjadi alasan bagi orang tua dalam memaksa anak untuk menerima dipisahkan dari keluarganya. Hamengku Buwono IX juga mengalaminya. Demi menamatkan sekolah dasarnya, ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di lingkungan keluarga Belanda, yaitu Mulder dan Cook. Hingga akhirnya, peran-peran yang dimainkannya mengalami redefinisi, yakni dari peran sebagai anak pribumi dari keluarga keraton menjadi anak keluarga Belanda yang kebarat-baratan.
Peran demi peran yang dimainkan oleh Hidjo, Hanafi, Hamengku Buwono IX di dalam berbagai variasi keluarga itu semua dilegalkan atas nama sekolah. Padahal, peran-peran itu membawa mereka memasuki lokasi disintegrasi anggota keluarga yang melemahkan relasi sesungguhnya. Namun, semua itu dianggap lazim dan dilegalkan. Bahkan, sekolah nihil dari tuntutan bahwa ia kerap kali cuci tangan dari fenomena disintegrasi keluarga.
Akankah kesakralan keluarga legal dipecahkan oleh sebuah institusi suci bernama sekolah? Tentu tidak! Kesakralan kedua lembaga itu seharusnya sama-sama dijaga tanpa mengotori satu dan lainnya. Kini, pengembalian fungsi keluarga pada hakikatnya adalah pekerjaan rumah yang mendesak bagi sekolah. Tabik!
Oleh Rahmah Purwahida



Tidak ada komentar:

Posting Komentar